Kamis, 16 Januari 2014

0 Jadwal Sholat Untuk Daerah Trenggalek Januari 2014


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

0 Politik Uang Dalam Berita


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Partisipasi tinggi, politik uang tetap nomor 1 di Jakarta


Sindonews.com - Lembaga survei Polling Center menemukan partisipasi masyarakat DKI Jakarta pada Pemilu 2014 mendatang cukup tinggi. Bahkan, partisipasi pemilih diperkirakan mencapai 93.2 persen.


Akan tetapi, partisipasi pemilih yang diteliti Polling Center masih didominasi model politik uang. Artinya, masyarakat Jakarta masih menomorsatukan uang sebagai realisasi politik ketimbang kualitas pemilu.



Hal itu diperkuat dari cara politikus di ibukota memainkan strategi politik pendekatan kepada pemilih. Adanya jual-beli suara atau politik uang dimainkan oleh aktor-aktor politik yang berkompetisi di daerah pemilihan Jakarta.



"Kebutuhan penting akan informasi pemilih tetap ada, dan praktik pembelian suara masih terus mempengaruhi kualitas pemilu," kata Manajer Research Polling Center Heny Susilowati, di Hotel Four Season, Kuningan, Jakarta, Kamis (19/12/2013).



Dalam contohnya, Polling Center menempatkan enam provinsi di Indonesia sebagai studi penelitiannya. Enam provinsi itu antara lain, Aceh, Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.



Pendekatan tipe pemilih dari enam provinsi yang menjadi tujuan penelitian Polling Center menggunakan pendekatan pengetahuan, sikap dan praktik pemilih. Selain Jakarta, lima provinsi lainnya memiliki bobot poin partisipasi pemilih mencapai level 93.2 persen.



Selain soal politik uang, temuan Polling Center memperhatikan kecenderungan masyarakat yang kurang mendapat akses informasi mengenai pemilu, baik yang dimediasi oleh penyelenggara pemilu, maupun peserta pemilu.



Fakta tersebut, ditambahkan Heny, seharusnya menjadi kebutuhan bagi penyelenggara dan peserta pemilu untuk merespon antusiasme masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu.



"Informasi bagi pemilih tetap menjadi kebutuhan yang penting dalam empat bulan terakhir sebelum pemilu legislatif diselenggarakan," ujarnya.



Dalam hal itu, kecenderungan responden calon pemilih disinyalir bakal menerima uang dan hadiah dari partai politik, calon, dan tim sukses, dibandingkan memilih untuk menolak. 



Ironis, 38,8% pemilih DKI anggap politik uang pantas


Sindonews.com - Ironis, ungkapan yang pantas disematkan terkait temuan lembaga survei Polling Center, yang merilis perilaku pemilih di DKI Jakarta yang cenderung menganggap politik uang sebagai hal yang pantas.

Dalam temuannya, sebanyak 38,8 persen, masyarakat pemilih di Jakarta akan membiarkan pendekatan politik dengan menerima uang atau barang dari calon adalah sesuatu yang pantas. Gejala itu dinilai bakal mempengaruhi persepsi pemilih secara nasional pada Pemilu 2014 mendatang.

"Praktik politik uang ini sudah menyebar luas," kata Manager Research Polling Center, Heny Susilowati saat merilis hasil survei di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2013).

Sementara itu, respon negatif terhadap praktik politik uang yang dianggap tak pantas mencapai 19,8 persen. Selebihnya, yang menjawab tidak tahu sebanyak 21,6 persen.

Padahal, di sisi lain persepsi pemilih terhadap ketentuan hukum dari praktik uang itu cukup tinggi yang menyadari kalau itu melanggar yakni sebanyak 49,1 persen, sedangkan yang menilai itu tidak melanggar 32,0 persen.

Di sisi lain, bagi pihak pemberi atau calon yang menganggap praktik politik uang tak bertentangan dengan hukum 20,2 persen, sedangkan yang sudah memahami itu melanggar hukum 60,9 persen.

Dalam kesimpulan surveinya, Polling Center menempatkan pemilih terhadap politik uang sebesar 38,5 persen, dalam bentuk apapun pemberiannya. Sedangkan yang menolak apapun bentuk pemberian 39,8 persen. Di pihak lain, pemilih mempertimbangkan akan menolak atau menerima tergantung bentuk pemberiannya 16,5 persen, menolak menjawab 5,2 persen.

Survei ini dilakukan terhadap 460 responden yang berusia masuk pada 17 tahun atau sudah menikah, denganmargin error 4,5 persen, selang kepercayaan 95 persen.

Di luar itu, tambah Heny, terpenting pemilih di DKI Jakarta masih mencari informasi mengenai calon-calon yang bakal dipilihnya. 

"Selain itu, sudah jelas bahwa pemilih menginginkan informasi tambahan mengenai para calon, siapa mereka, latar belakang mereka, dan apa platform kampanye mereka," tutup Heny. 

Biar terpilih, sejumlah caleg asal Aceh gunakan politik uang


Merdeka.com - Pemilu Legislatif (Pileg) sudah di ambang pintu. Banyak calon legislatif (caleg) mulai mencari dukungan hingga ke desa-desa. Berbagai macam cara dilakukan agar terpilih, tak terkecuali praktek politik uang.
Modusnya beragam corak, di antaranya dengan membentuk kelompok di desa tertentu. Kemudian memberikan sejumlah uang agar memilih caleg tersebut.
Salah satunya terjadi di Daerah Pemilihan (Dapil) 1 di Desa Kebun Baru, Kecamatan Wih Pesam, Kabupaten Bener Meriah. Seorang caleg dari Partai Golkar bernama Darwinsah mendatangi desa itu dan memberikan uang Rp 10 juta untuk pembangunan saluran pipa air bersih.
Meskipun Darwinsah tidak meminta secara langsung pada masyarakat setempat untuk memilihnya pada 9 April 2014 mendatang. Namun, uang Rp 10 juta itu jadi kompensasi politik agar seluruh anggota kelompok di desa tersebut mendukungnya.
Hal itu diakui oleh salah seorang warga desa, Salian pada merdeka.com. Katanya, Darwinsah memberikan sejumlah uang untuk pembangunan saluran pipa air bersih dan kompensasi pemilu nanti agar memilih Darwinsah.
"Waktu itu saya mau pasang bendera NasDem, lalu tim sukses Darwinsah yaitu Suprianto melarang saya naikkan bendera itu," kata Salian, Selasa (14/1). Saat ini, Darwinsah merupakan anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Bener Meriah.
Selain melarang caleg lain, bila ia terbukti tidak mendukung Darwinsah maka air ke rumahnya akan diputuskan. "Kata Suprianto, kalau tidak memilih Darwinsah maka tidak ada setetes air pun masuk ke rumah saya," jelasnya.
Tak hanya caleg dari Partai Golkar, seorang caleg dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) yang berinisial S juga melakukannya. Bedanya, ia menawarkan sejumlah Rp 30 juta untuk komunitas Rebana.
Dana tersebut digunakan komunitas kesenian untuk mensyiarkan Islam dan syair-syair nasehat agar mencegah nahi mungkar. Kompensasinya agar pada Pileg mendatang agar memilihnya.
"Tapi Caleg S itu belum memberikan uang, tapi sudah datang menawarkan uang itu," tegasnya.
Sementara itu, saat diminta tanggapan dari Suprianto yang merupakan tim sukses Darwinsah membenarkan bahwa dana Rp 10 juta itu kepada kelompok beranggotakan 48 orang. Dana tersebut digunakan untuk membangun saluran pipa air bersih di desa tersebut.
"Pak Darwin membantu biaya bangun pipa air pada kami, dia yang menambah dana. Namanya ada yang memberi, tidak mungkin terima kasih saja, tentu ada timbal balik. Makanya kita sarankan kita telah dibantu dan kita minta bantu bapak itu agar memilih dia nantinya," tegas Suprianto.
Kata Suprianto, ini memang sudah tradisi setiap pemilu caleg memberikan bantuan. Terkait keberadaan Salian, nantinya akan ditentukan hasil rapat anggota kelompok.
"Bukan Darwinsah saja yang berikan, tapi juga sejumlah partai lain seperti dari Partai Amanat Nasional (PAN) memberikan mesin genset dan juga Gerindra memberikan kambing di desa tetangga," aku Suprianto.
Sedangkan Ketua NasDem Kabupaten Bener Meriah, Sirwandi Lut Tawar menyebutkan, praktek ini ada tersirat pesan politik atas pemberian bantuan itu. "Ini harus dihindari bantuan bermotif politik uang. Politik itu menyatukan, tapi bukan menyatukan dalam satu warna," tegasnya.
Lanjutnya, masyarakat jangan sampai terkotak-kotak di tengah-tengah masyarakat gara-gara politik. Justru rakyat itu harus diberikan kebebasan untuk menentukan pilihannya. Karena ini dilindungi undang-undang.
"Dugaan politik uang ini, kita sedang buat laporan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwas), biar ini menjadi pembelajaran bahwa politik uang itu haram," tutupnya.
Rusdi Kirana dan Hary Tanoe Bukti Kuasa Uang di Politik Indonesia

TRIBUNNEWS.COM – Bos Maskapai Penerbangan Lion Air, Rusdi Kirana, diangkat menjadi Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa. Bergabungnya Rusdi Kirana menjadi petinggi di partai pimpinan Muhaimin Iskandar itu, mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari para petinggi Partai Golkar.
Ketua DPP Partai Golkar, Hajriyanto Y Thohari, menilai bahwa masuknya pengusaha besar ke dunia politik praktis, merupakan konsekuensi logis sistem politik Indonesia yang menganut demokrasi langsung.
"Pemilihan Presiden dan anggota DPR secara langsung, pemilihan langsung di negara besar teritorial memang akhirnya memerlukan sumber daya finansial besar," kata Hajriyanto ketika dikonfirmasi, Rabu (15/1/2014).
Menurut Hajriyanto, partai politik harus mengakui adanya kesulitan dalam bidang pembiayaan organisasi. Apalagi untuk konsolidasi partai di daerah membutuhkan anggaran dana yang besar.
"Demokrasi langsung akhirnya konsekuensi orang yang punya modal finansial sangat dihargai terjadi sistem kencenderungan Plutokrasi, sistem penghormatan tinggi menentukan jalannya partai politik dari orang kaya," ujarnya
Hajriyanto mengatakan, seseorang menjadi petinggi partai seharusnya ditentukan dari proses kaderisasi serta loyalitas yang tinggi. Namun hal itu akhirnya runtuh ketika sistem plutokrasi dilakukan. "Punya modal finansial, akhirnya menentukan posisi seseorang," katanya.
Ia mengatakan Rusdi Kirana bukanlah orang pertama yang memperlihatkan sistem plutokrasi. Sebelum Rusdi, hal itu diperlihatkan oleh Bos MNC Group, Hary Tanoesudibjo.
"Hary masuk NasDem terus Hanura bukan saja mendapatkan posisi struktural tetapi sampai diputuskan sebagai calon wakil presiden. Itu engga masalah, itu hak tidak boleh dihalangi," katanya.

Perludem: Kawasan Bencana Rawan Jadi Arena Politik Uang


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah daerah terkena bencana saat ini. Mendekati Pemilu 2014 yang jatuh pada 9 April nanti, partai politik dan calon legislatif berpotensi memanfaatkan situasi bencana yang ada dengan melakukan kampanye dan politik uang.
Deputi Direktur Perkumpulan untuk demokrasi dan demokrasi (Perludem), Veri Junaedi, menyampaikan pelanggaran kampanye sangat mungkin terjadi di daerah bencana. Bahkan, di daerah non-bencana sekali pun hal terjadi, khususnya ditimbulkan oleh praktik-praktik politik uang.
Memang, kampanye partai politik peserta pemilu sudah bisa mereka lakukan di masyarakat. Hanya saja, ada dua hal yang dilarang saat ini, yaitu kampanye di media elektronik dan surat kabar, serta kampanye dalam rapat umum di depan orang banyak.
"Kalau partai menggunakan kesempatan untuk kampanye, apapun bentuknya, sah-sah saja. Seperti menyalurkan bantuan atau membuat posko, itu boleh. Money politik baru enggak boleh," ujar Veri kepada wartawan di Gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (15/1/2014).
Menurut Veri, kalau pun ada parpol atau caleg memberikan bantuan untuk korban bencana, silakan saja. Tapi jangan sampai dimanfaatkan untuk sekalian melakukan kampanye dengan praktik politik uang.
Ia menggaris bawahi, seharusnya kerja parpol tidak hanya membatasi dirinya pada daerah yang menjadi basis pemilihan saja. "Tapi kalau ada bencana, partai juga harus turun, dan mesin partai harus bergerak memberikan bantuan," sambungnya.
Perludem mengingatkan kepada KPU dan Bawaslu, potensi kecurangan yang terjadi di lokasi bencana. Karena, potensi kecurangan dalam kondisi yang normal saja terjadi, apalagi dalam kondisi yang tidak normal.
"Makanya, pengawas pemilu harus sudah mengidentifikasi kerawanan-kerawanan apa saja yang mungkin terjadi di daerah-daerah bencana. Jangan sampai karena suatu daerah masuk kawasan bencana lalu terlupakan begitu saja," sambungnya.

KPU dan Bawaslu Sulteng Siap Cegah Politik Uang


Metrotvnews.com, Palu: Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Tengah mengapresiasi hasil survei yang dirilis oleh Media Survei Indonesia (MSI) di Sulteng, Desember 2013 lalu. Terutama soal tingginya angka toleransi responden terkait politik uang yang mencapai 35,5 %.

"Angka yang disebutkan sebesar 35,5% cukup fantastis. Dan, itu akan menjadi pekerjaan kami untuk bisa menyelenggarakan pemilu yang lebih baik lagi," kata Ketua KPU Sulteng Sahran Raden di Palu, Selasa (14/01).

Ketua Bawaslu Sulteng Ratna Dewi Pettalolo mengaku akan menjadikan hasil survei itu sebagai informasi untuk lebih menguatkan lagi jaringan yang ada di tiap daerah pemilihan.

"Ini akan kami jadikan bahan untuk memperkuat pengawasan di lapangan. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab Bawaslu untuk mengawasi jalannya seluruh tahapan pemilihan umum agar tidak dikotori dari cara-cara yang dilarang, seperti politik uang," tegas Ratna.

Direktur MSI Asep Rohmatullah mengatakan masih ada waktu kurang lebih tiga bulan bagi penyelenggara untuk mengawal dan mengawasi, terutama Bawaslu. "Kita semua berharap tidak terjadi bencana politik dalam Pemilu nanti," kata Asep.

Sebelumnya, MSI merilis hasil survei yang dilakukan Desember 2013 lalu. Dari 1.200 responden pada lima daerah pemilihan di Sulawesi Tengah, sebanyak 35,5% menyatakan toleran dan membenarkan politik uang dan 30% responden mengaku akan memilih orang yang memberikan uang atau barang.

Syafarudin: Politik Uang Sebabkan Angka Golput Tinggi


(Unila) : Menanggapi semakin peliknya masalah pemilihan gubernur Lampung yang masih belum ada kepastian, akademisi Universitas Lampung (Unila) turut memberikan masukannya. Selain masalah kapan penyelenggaraan pemilihan gubernur yang belum jelas, masalah lain dalam proses demokrasi tersebut juga menjadi sorotan, salah satunya adalah masalah politik uang yang berpengaruh terhadap pemilih.
Menurut dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Syafarudin, politik uang yang dilakukan calon kepala daerah diperkirakan menjadi penyebab utama meningkatnya angka golongan putih (golput) pada pemilihan kepala daerah. “Praktik money politic membuat pemilih merasa dilematis dan sulit dalam menentukan pilihan,” ungkapnya, Kamis (22/8).
Menurutnya, politik uang membuat pemilih bingung karena ada rasa tidak enak akibat menerima berbagai imbalan dari para kandidat. Akibatnya, masyarakat pun cenderung tidak memilih dan jadilah golput.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Safarudin di beberapa daerah yang menggelar pemilukada 2012, sebanyak 65% masyarakat menerima pemberian materi dari calon, 30% pemilih menolak pemberian, dan 5% pemilih tidak menjawab. Ternyata dari 65% pemilih yang menerima pemberian sembako, sebanyak 80% tidak memilih calon yang memberikan sembako. Hanya 20% pemilih yang menerima imbalan dari calon dan merasa terikat untuk memilih calon pemberi sembako. Setelah diteliti lebih jauh, dari 20% pemilih yang terikat itu, ternyata banyak yang tidak memilih saat pemilukada.
Dari penelitian tersebut, Safarudin menyimpulkan politik sembako tidak begitu efektif menarik simpati masyarakat. Banyak warga yang tetap independen dalam memilih meskipun sudah menerima bantuan dari salah satu calon kepala daerah. “Sebanyak 80% pemilih tetap independen dalam memilih dan sekitar 20% pemilih tidak memilih setelah menerima bantuan materi dari calon,” ungkap Syafarudin.
“Salah satu penyebab golput adalah politik uang. Warga yang sudah menerima bantuan dari berbagai kandidat, merasa tidak nyaman, dan memilih untuk tidak datang ke tempat pemungutan suara. Dia menilai masyarakat sudah semakin cerdas dan rasional dalam menentukan pilihan,” tukasnya. [] Andro